TUGAS PKN : INDONESIA BELUM SIAP BERDEMOKRASI


         Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan sistem pemerintahan yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat dan rakyat merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan Indonesia juga menerapkan demokrasi karena pemimpin negara hingga wakil rakyat diambil dari rakyat dan dipilih oleh rakyat, sehingga masyarakat juga memiliki peranan dalam menentukan masa depan negara.

Ø  KECACATAN DAN SISI GELAP DEMOKRASI
        Poin yang perlu dicermati dari sistem demokrasi adalah penentuan calon pemimpin atau wakil rakyat yang kelak menyuarakan kehendak rakyat. Demokrasi tidak mengatur detil dari poin ini. Semua diserahkan pada negara atau wilayah guna menyesuaikan sesuai dengan kepentingan. Mengingat azas kebebasan yang berlaku dalam sistem demokrasi, maka setiap warga negara punya hak dipilih dan memilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

       Celakanya jika dalam penetapan ini bermuatan kepentingan segelintir orang atau kelompok, maka akan dibuat kriteria selonggar mungkin. Ini yang terjadi ketika Aburrahman Wahid (Gus Dur) dicalonkan sebagai presiden RI. Atau standar minimum pendidikan SMA pada penetapan calon anggota legislatif indonesia. Itulah muncul kekhawatiran dari beberapa kalangan akan munculnya sosok-sosok boneka. Mereka yang sebenarnya jauh dari kompeten namun memenuhi syarat minimal berhak mencalonkan diri.

         Sisi lain yang tak kalah menakutkan adalah proses pra pemilihan umum. Mengingat calon harus memenangkan suara terbanyak untuk bisa duduk di tempat yang ia inginkan, maka mau tak mau harus ada usaha untuk merebut hati rakyat. Kampanye sebagai mekanisme beriklan harus dimanfaatkan betul. Mereka yang lolos “Fit and Proper Test” ini dan berkampanye, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Diperbolehkan menggalang dana dan mencari sponsor dari individu atau kelompok. Dan tentu saja harus ada transaksiatau semacam kesepakatan antara kedua belah pihak. Intinya harus ada simbiosis mutualisme antara kerduanya. Maka jadilah kampanye tidak sekedar pra pesta demokrasi melainkan pesta bisnis di sisi lain. Celah ini sangat dipahami betul para pemilik modal. Mereka yang ingin mempertahankan hegemoni bisnisnya rela merogoh kocek lebih dalam guna mendukung salah satu calon yang dianggap menguntungkan bisnisnya kelak.

        Di sisi lain, pelaku-pelaku politik yang sudah jauh tenggelam dalam dahaga duniawi dan kekuasaan semakin banyak bermunculan. Individu hasil didikan tangan-tangan inilah yang akan dijadikan boneka dan atau wayang. Inilah cacat bawaan dan sisi gelap demokrasi yang sudah banyak memakan korban. Pelan tapi pasti, dunia saat ini sedang berjalan ke arah proses destruktif massal. Satu per satu negara teracuni. Satu per satu pula negara-negara tersebut dikuasai secara kasat mata melalui tangan-tangan tersembunyi lewat mekanisme pemilu dalam sistem demokrasi.

        Menurut data Indeks The Global State of Democracy tahun 2017 yang dilakukan oleh International IDEA,Indonesia termasuk Negara terburuk dalam berdemokrasi dibandingkan semua Negara yang telah diamati di tahun 2017. Indonesia turun 20 peringkat dari peringkat 48 sekarang menjadi peringkat 68.
Tahun yang lalu Presiden Jokowi sempat melontarkan pernyataan yang membuat pro dan kontra di tengah masyarakat, beliau mengatakan bahwa saat ini demokrasi kita kebablasan. Bagi mereka yang pro atau setuju dengan pernyataan presiden Jokowi banyak beranggapan bahwa saat ini memang benar sudah kebablasan kebebasan demokrasi di Indonesia seperti fitnah, adu domba, hate speech sudah terjadi dimana mana yang dapat berpotensi merusak persatuan kita sebagai sebuah bangsa.
Sedangkan bagi mereka yang kontra atau tidak setuju dengan pernyataan presiden bahwa mereka beranggapan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin kebebasan dalam segala hal baik kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi dalam sosial media dan kebebasan lainya. Negara tidak boleh membatasi dan campur tangan. Dengan demikian kebebasan adalah absolute milik rakyat.
Lalu dimanakah posisi kita sebaiknya diantara dua kelompok yang pro dan kontra tersebut? Saat ini, kehidupan demokrasi dan alam keterbukaan di Indonesia sangat kita rasakan, ini adalah hasil perjuangan panjang dan mimpi yang dulu banyak orang idam – idamkan, merindukan sebuah kebebasan. Bahkan demokrasi di Indonesia sudah diakui oleh dunia internasional dan menempatkan negara kita sebagai negara demokrasi ke tiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Demokrasi saat ini cinderung membawa efek negatif yang cukup berlebihan, seperti halnya ditengah masyarakat saat ini banyak beredar hoaks, ujaran kebencian dan fitnah, apakah itu ciri demokrasi di negara kita? Tidak. Karena, demokrasi yang ditempuh di Indonesia haruslah berdasarkan pada nilai – nilai reliji, norma sosial, dan kepatuhan pada peraturan perundang – undangan yang berlaku
MENGAPA INDONESIA BELUM BISA MENGANDALKAN SISTEM DEMOKRASI
Ø  Partai Politik Penuh Kepentingan dan Kekuasaan Pribadi

Sebagian besar partai politik di Indonesia bekerja untuk kepentingan membernya, Adakah yang berani berteriak partai mana yang orang-orangnya murni bekerja untuk kesejahteraan bangsa? Setiap tahun dalam era kampanye partai-partai banyak yang g bertikai dan saling fitnah atau black campaign, masyarakat yang polos dan bingung jadi korban. Bukankah ada slogan negara tidak akan maju kalau kita tidak bersatu? Bagaimana rakyat bisa bersatu  dengan belasan partai politik ?                           

Sistem lain seperti monarki tidak mengasuh partai, keadaan rakyatnya jadi bersatu, baik bersatu dalam bekerja untuk kemakmuran maupun bersatu dalam pemberontakan karena termakan hasutan.
Dalam berbagai jajak pendapat publik yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sejak 2004, secara konsisten ditemukan fakta bahwa masyarakat cenderung berpandangan negatif terhadap institusi parpol dan para politisi. Karena para politisilah yang mengisi lembaga DPR, persepsi terhadap DPR pun secara konsisten cenderung negatif. Menurut LSI, di awal tahun ini, tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol dan DPR berada di kisaran 50 persen. Ini angka terendah dibandingkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden sebesar 83 persen, KPK 81 persen, dan TNI 83 persen. Angka ini lebih rendah lagi pada 2014, setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden. 

Ø Pemilu memakan anggaran Negara
Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 26 triliun untuk pesta demokrasi tahun 2018, baik pelaksanaan Pilkada serentak maupun persiapan Pemilu 2019. Anggaran ini telah disepakati oleh pemerintah bersama DPR dan tercantum dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018. "Alokasi dana pemilu mencapai Rp 16 triliun. Pemerintah juga mengantisipasi kalau dalam pelaksanaan (pemilu) di tahun 2018 ada kekurangan, akan diantisipasi untuk bisa dilaksanakan dengan baik," kata Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017). Askolani menjelaskan, anggaran tersebut masuk ke dalam anggaran pertahanan keamanan dan demokrasi sebesar Rp 220,8 triliun pada APBN 2018.

BENARKAH INDONESIA BELUM SIAP BERDEMOKRASI, ATAU DIPAKSA SIAP DEMOKRASI, ATAU TIDAK BUTUH DEMOKRASI?

Seringnya terdengar ejekan kepada budaya krisis kepercayaan yang hampir selalu melanda negara dunia ketiga. Mau tidak mau harus diakui bahwa saat ini Indonesia telah dipandang sebelah mata oleh masyarakat global, baik secara implisit maupun eksplisit, walaupun dalam sisi infrastruktur Indonesia tak kalah dibandingkan negara Eropa atau Barat. Akan tetapi melalui sistem kultur dan tata nilai, Indonesia tetap dikategorikan sebagai negeri yang uncivilized, primitif atau malah barbar.
Tidak adanya kepastian hukum ibarat hutan rimba tergambar jelas, baik pada tingkat wacana sampai ke tataran praksis. Beberapa persoalan bangsa yang semakin berlarut-larut sebanding dengan menumpuknya berkas kasus di meja mahkamah agung yang harus diselesaikan oleh para hakim dan jaksa agung, seiring dengan itu pula pemerintah mencoba menerapkan pendekatan kultural di pelbagai daerah konflik untuk mengangkat sosio kultur bangsa Indonesia.
Tradisi kuno sradak-sruduk, kekerasan, dan penindasan telah lama dipraktekan di tanah air ini. Penyebabnya bukan saja dipicu oleh persoalan politik semata, tapi oleh mentalitas dan budaya yang umurnya jauh lebih tua dari yang kita duga. Warisan itu ada sebelum orde baru dan orde lama, bahkan ketika kolonial asing datang ke bumi pertiwi ini, mereka dengan mudah menancapkan kuku imperialisnya dikarenakan watak primordial bangsa kita yang memang dikondisikan sebagai individu nrimo dalam sebuah sistem berupa priyayi dan kasta. Mental feodal, mental priayi, sama sekali harus diubah. Mental inilah yang membuat bangsa kita tidak mandiri. Peninggalan masa feodal yang mendarah daging pada kultur masyarakat Indonesia merupakan salah satu pengganjal majunya kualitas generasi penerus bangsa.
Feodalisme telah memberikan pelajaran dewanisasi terhadap manusia dalam atribut penguasa yang sejatinya adalah subjek yang sama dan sejajar. Kita tak pernah mengenal pelajaran dari seorang presiden semacam yang menolak memperpanjang jabatannya demi pelajaran demokrasi. Yang kita kenal adalah presiden-oleh karena kepentingan tertentu-lebih suka mensuaka kekuasaannya sedemikian rupa hingga menjadi diktator tanpa terasa. Konservasi kekuasan semacam itulah yang menimbulkan obedience by fearness secara berkepanjangan hingga sekarang. Gerakan pembredelan, pelarangan dan teror adalah cara yang dianggap efektif untuk mewujudkan cita-cita itu.
Apa yang terjadi di Indonesia setelah satu persatu penjajah asing meninggalkan negeri ini juga menjadi bukti nyata bahwa mental dan watak feodal masih bersemayam dalam karakter bangsa ini. Rakyat terjajah oleh bangsa sendiri. Fenomena akan aksi senioritas antar mahasiswa yang sangat ironis dengan apa yang sering mereka teriakan sebagai sebuah penentangan terhadap militerisme, dan otoriterian ternyata juga bersifat tradisi. Para elit politik pemerintah kerap memakai sistem senioritas seperti yang diterapkan dalam militer, sehingga tak jarang stigmatisasti terhadap pegawai pemerintah yang notabene seharusnya sebagai abdi masyarakat berubah menjadi abdi penguasa atau abdi seseorang yang berpengaruh dalam pemerintahan. Pada akhirnya korupsi kolusi dan nepotisme pun merajai sistem hukum negeri ini.
Negara rimba yang berakar pada budaya feodal masih berakar di tanah air. Indonesia tak siap menjalani apa yang disebut demokrasi, yang ada malah demokrasi selalu bisa diakali; Demokrasi terpimpin, demokrasi terarah, dan segala macam penerapan sistem demokrasi di negara ini masih terikat oleh dogma priyayi, senioritas, serta pemimpin yang fasis. Bahkan ketika piagam hak asasi manusia ditanda tangani oleh masyarakat dunia, pemerintah Indonesia adalah negara yang ketinggalan dalam hal penegakan supremasi hukum serta HAM di negaranya.
Saat hukum mengalami subordinasi sedemikian rupa, di mata rakyat ia lalu berubah menjadi sekadar mitos: Bahwa hukum cuma milik golongan, bahwa keadilan adalah uang, bahwa hakim, jaksa, polisi dan penjara adalah teror. Maka pandangan hukum manusia Indonesia atas hukumnya adalah pandangan seorang pengidap paranoia.
Para penerus generasi baru bangsa ini terus terbawa arus oleh kultur feodal di masyarakatnya. Wacana antikritik menjadi doktrin mutlak dalam setiap keluarga dan seterusnya berulang-ulang siklus itu berputar pula pada tataran kemasyarakatan. Impian tentang demokrasi yang tengah kita perjuangkan saat ini, masih demokrasi yang terjerat blunder kebudayaan feodalistik, sentralitisk dan oligarki politik dalam soal kekuasaan. Inilah kenapa demokrasi Platonian masih menjadi kemewahan karena ia butuh syarat berat yakni masyarakat egalitarian.

TUGAS PKN KELAS X DEBAT  INDONESIA BELUM SIAP BERDEMOKRASI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS OBSERVASI GAMELAN